Setelah kita membicarakan tujuan yang hendak dicapai oleh Islam
melalui disyariatkannya perang berikut pertimbangan-pertimbangan
historis atas diizinkannya kaum Muslimin melakukan perang, kini kita
bahas pelajaranpelajaran apa yang dapat dipetik dari peperangan yang
dilakukan oleh Rasulullah saw. semasa hidupnya.
Pertama
Perang Nabi yang petama kali adalah Perang Badar. Beliau membawa
pasukannya untuk mencegat kafilah Quraisy yang sedang dalam perjalanan
kembali dari Syam (Syiria) menuju Makkah. Kafilah ini tidak berhasil
dicegat, tetapi mereka sendirilah yang kemudian mempersiapkan pasukan
untuk perang.
Upaya pencegatan ini tidak berarti Nabi saw. punya ambisi ingin
merampas barang-barang dagangan atau merampok seperti yang dituduhkan
kaum Orientalis. Sementara kaum Orientalis tidak pernah mau tahu tentang
harta benda kaum Muhajirin yang terpaksa ditinggal di Makkah lalu
dirampas oleh kaum Musyrikin Makkah. Bukankah tindakan Nabi melakukan
pencegatan tersebut merupakan imbalan terhadap kekejaman kaum Quraisy
terhadap diri Nabi dan sahabat-sahabatnya?
Bukankah mereka itu terlebih dahulu memaksa umat Islam angkat kaki
dari tanah tumpah darahnya, meninggalkan kampung halaman, dan harta
benda? Bila kita lihat masalah ini dari sudut perundang-undangan yang
berlaku di dunia dewasa ini, maka tindakan Nabi itu cukup beralasan.
Bukankah orang-orang Yahudi (Israel) sampai sekarang menuntut haknya
untuk kembali ke tanah airnya dan menguasai kembali harta benda mereka
yang ada di sana?
Sebelum terjadi pencegatan Badar ini, lebih dahulu telah tujuh kali
kaum Muhajirin berusaha memperoleh harta yang ada di Makkah. Seluruhnya
dilakukan oleh orang-orang Muhajirin. Dasarnya ialah karena harta benda
mereka yang ditinggalkan di Makkah sudah dikuasai kaum Musyrikin. Oleh
karenanya dibenarkan undang-undang jika mereka (Muhajirin) melakukan
pembalasan dengan mencegat kafilah dagang Makkah. Tidak kurang dari
tujuh faktor yang membenarkan tindakan pencegatan terhadap kafilah
Quraisy itu, yaitu:
- Sebelumnya Nabi telah mengutus Hamzah untuk memperoleh harta benda kaum Muhajirin yang ditinggal di Makkah. Itu terjadi setelah 7 bulan hijrahnya kaum Muhajirin ke Madinah. Tetapi hasilnya nol.
- Kemudian berturut-turut Nabi mengutus pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh Ubaidah bin Harits, pada bulan kedelapan hijrah.
- Seterusnya pasukan yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqas, pada bulan kesembilan.
- Kemudian diutus pula suatu regu yang terpaksa terlibat perang dengan orang -orang Quraisy di Waddan, pada bulan kesepuluh.
- Pada bulan ketiga belas ada lagi delegasi yang terpaksa terlibat dalam peperangan di Buath.
- Kemudian terjadi lagi Perang Badar pertama, pada bulan ketiga belas hijrah.
- Seterusnya terjadi lagi Perang Asyirah pada bulan keenam belas hijrah. Seluruhnya dilakukan oleh orang-orang Muhajirin. Tak seorang pun kaum Anshar yang diikutsertakan.
Kedua
Kemenangan dalam suatu peperangan tidak semata-mata ditentukan oleh
banyaknya jumlah prajurit dan hebatnya persenjataan. Tetapi, justru
lebih ditentukan oleh kekuatan rohani masing-masing prajurit. Dalam
peperangan yang terjadi selama Nabi masih hidup, pasukan-pasukan Islam
merupakan pihak yang menganut dan membela akidah dan umat, sedangkan
pasukan kaum Musyrikin merupakan pihak yang menganut dan membela
kerusakan akidah, kebejatan akhlak, kerusakan masyarakat, taklid buta
kepada nenek moyang, dan mempertahankan kekuasaan yang diwarnai oleh
pandangan kebendaan.
Betapa bedanya perilaku kedua belah pihak menjelang terjun ke medan
perang. Kaum Musyrikin biasa mengadakan pesta pora selama tiga hari tiga
malam. Mereka mabuk-mabukan, berdansa-dansi, menyalakan api unggun, dan
berbagai kelakukan sejenis itu. Maksudnya ialah untuk memberi tahu
khalayak ramai akan kehebatan mereka dan dengan itu mereka merasa siap
untuk memenangkan pertempuran.
Lain sekali dengan kaum Muslimin. Mereka terlebih dahulu mengadukan
segala sesuatunya kepada Allah setulus hati, mohon pentolongan-Nya, dan
mohon dijadikan syahid. Nabi saw. sendiri bersujud ke hadirat Allah dan
memohon kepada-Nya agar kaum Muslimin memperoleh kemenangan. Dan pada
ujungnya kelompok kedua inilah yang berhasil.
Dalam semua peperangan, jumlah personil kaum Musyrikin jauh lebih
banyak ketimbang jumlah pasukan Islam. Nyatanya hanya dua kali pasukan
Islam agak kewalahan dari belasan kali peperangan yang terjadi. Inipun
dikarenakan mereka melanggar komando Rasulullah, dan tidak sampai
menderita kalah total.
Ketiga
Keteguhan hati dan ketabahan serta kegembiraan kaum Muslimin
menghadapi musuh merupakan salah satu faktor pendorong terlaksananya
taktik dan strategi yang membawa kemenangan.
Seorang komandan seyogyanya tidak membuat tentara-tentaranya benci
dan takut berperang. Sebaliknya, ia harus menumbuhkan semangat dan
kerelaan mereka untuk maju. Itulah sebabnya Rasulullah saw. pada Perang
Badar mengadakan musyawarah terlebih dahulu dengan tentaratentaranya.
Sehingga, masing-masing merasa ikut menentukan dan bertanggung jawab.
Keempat
Kegigihan anggota-anggota pasukan untuk mempertahankan diri atau jiwa
komandannya merupakan suatu sikap yang ditimbulkan oleh keberanian
untuk memenangkan perang dan dakwah. Dalam keadaan seperti itu sang
komandan harus menghargai sikap dan tindakan anggotanya.
Dalam Perang Badar misalnya, Nabi saw. menyetujui pembuatan kemah
untuk dijadikan tempat perlindungannya. Begitu pula dalam peperangan
lainnya, seperti Perang Uhud dan Hunain, di mana tentaranya membuat
pagar betis guna melindungi beliau dari hujan anak panah yang
dilontarkan musuh. Nabi tidak pernah menolak keinginan-keinginan seperti
itu, walaupun dirinya merupakan orang yang paling berani lagi
dilindungi Allah. Bahkan, beliau sangat menghargai kesediaan berkorban
para sahabat-sahabatnya demi dirinya, yang berarti juga demi dakwah
Islamiyah.
Kelima
Sesungguhnya Allah swt. senantiasa melindungi pejuang-pejuang Islam
yang betul-betul beriman dengan bala tentara khusus. Bantuan itu bisa
berupa Malaikat seperti yang diturunkan Allah untuk membantu kaum
Muslimin dalam perang Badar atau berupa angin topan yang ditiupkan-Nya
ke arah musuh Islam dalam Perang Ahzab. Hendaknya pejuangpejuang Islam
tidak meragukan lagi janji Allah dalam firman-Nya, “Kami (Allah)
benar-benar menolong kaum Mukminin.” (QS. An-Rum: 47), dan,
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman.” (QS.
Al-Haj: 38)
Keenam
Sifat seorang dai yang sebenarnya ialah selalu mengutamakan agar
musuh-musuhnya mendapat hidayah Allah. Ia akan selalu memberikan
kesempatan untuk itu, seperti kasus dibebaskannya tawanan-tawanan Penang
Badar. Diperingatkannya Nabi oleh Allah atas tindakannya itu tidak
berarti beliau telah mengambil tindakan yang salah total. Peringatan
tersebut diberikan hanya karena suatu kepentingan yang lebih mendesak
dalam situasi itu, yaitu untuk menumbuhkan rasa takut di kalangan
tentara-tentara musuh dan tokoh-tokohnya dengan cara tidak membebaskan
para tawanan lebih dahulu.
Adanya teguran Allah atas pembebasan itu adalah juga tidak berarti
mengharuskan membunuh mereka. Sebab jika dibunuh, seperti yang diusulkan
Umar bin Khattab, maka orang-orang akan lebih cenderung untuk tidak
melawan kemauan pemimpin-pemimpin Quraisy, di satu sisi. Di sisi lain,
pembunuhan para tawanan itu akan tambah membangkitkan perlawanan
terhadap kaum Muslimin.
Ada alasan lain mengapa Nabi menolak usul Umar untuk membunuh para
tawanan. Karena, di antara para tawanan ada paman Nabi sendiri, Abbas.
Walaupun belum terang-terangan masuk Islam, namun Abbas banyak membantu
Rasulullah, terutama dalam memberikan laponan mengenai gerak-gerik kaum
Musyrikin. Agaknya Abbas ini secara diam-diam telah beriman. Dan
membunuhnya bersama-sama tawanan lainnya berarti kehilangan seorang agen
rahasia. Jika Nabi membunuh para tawanan, tentulah kaum Musyrikin
mengklaim gerakan dakwah beliau adalah gerakan sadis. Inii jauh lebih
merugikan.
Ketujuh
Mengingkari komando seorang pemimpin yang cerdas dan teliti serta
mampu memperhitungkan suasana, akan membawa kekalahan. Misalnya
pelanggaran yang dilakukan oleh regu pengawal di atas bukit pada Penang
Uhud. Kalau saja regu yang ditugaskan Rasulullah mengawal pasukan dari
belakang itu taat pada komandonya, niscaya tertutup kemungkinan pasukan
Musyrikin membalas kekalahan mereka pada awal peperangan.
Inilah sebabnya Allah swt. memperingatkan kaum Muslimin, sebagaimana dinyatakan dalam surat An-Nur ayat 63.
Kedelapan
Tamak kepada harta rampasan atau seumpamanya, dapat menggagalkan
perjuangan. Premis ini terbukti dalam kasus Perang Uhud itu. Regu
pengawal di atas bukit turun ke lereng bukit karena melihat harta
rampasan yang ditinggalkan musuh. Begitu pula dalam kasus Perang Hunain.
Pada awalnya kaum Muslimin berhasil menghancurkan tentara musuh
sehingga mereka lari meninggalkan harta bendanya.
Melihat harta yang sangat banyak, tentara-tentara Islam sibuk
memungutinya dan tidak lagi siaga melawan musuh. Pada waktu lengah
inilah pasukan musuh kembali menyerbu sehingga nyaris pihak Islam
menderita kekalahan besar. Untunglah Rasulullah bersama-sama sebagian
tentara lainnya masih tetap memberikan perlawanan gigih sehingga
kemenangan terakhir dapat diraih.
Akan halnya dakwah, tentu begitu juga. Ia dapat dirusak oleh
keserakahan sang dai untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Hal
ini di samping dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat akan
kebenaran dakwahnya, juga membuat masyarakat menuduhnya sebagai orang
yang gila harta dengan memperalat dan mengatasnamakan agama. Bila
penilaian serupa ini telah tumbuh di hati masyarakat, akan terhalanglah
penyebaran agama dan akan terjadilah sangka buruk terhadap setiap dai.
Kesembilan
Contoh yang diberikan Ummu Imarah yang berjuang sampai mati demi
menyelamatkan jiwa Rasulullah dalam perang Uhud, merupakan petunjuk
tentang harusnya kaum wanita mengambil peran besar dalam rangka
mensukseskan dakwah. Contoh ini menginsafkan kita akan keharusan
mengikutsentakan kaum Hawa yang Muslimah dalam mengemban tugas dakwah.
Merekalah yang bertugas menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para
wanita di samping, mendidik anak-anak mencintai Allah, Rasul, dan agama
Islam dalam rangka perbaikan masyarakat.
Kalau lapangan partisipasi kaum wanita dalam dakwah ini tidak
terisikan, atau hanya diisi oleh seorang dua orang saja, tentulah
mekanisme dakwah dan proses perbaikan sosial itu akan berjalan lambat.
Sebab, separuh lebih dari masyarakat sasaran dakwah adalah kaum wanita
yang nyatanya kurang dijangkau oleh dai-dai pria. Bukankah dakwah
terhadap kaum wanita ini akan lebih efektif dan efisien manakala
dilaksanakan oleh kaum wanita itu sendiri?
Kesepuluh
Terlukanya jasad Rasulullah dalam Perang Uhud agaknya menyadarkan
para dai bahwa tidak tertutup kemungkinan mereka akan mengalami
gangguan-gangguan fisik atau terancam jiwa. Karena ketika melaksanakan
dakwah, para dai mungkin saja dilukai orang, dipenjarakan, bahkan
dibunuh oleh musuh-musuh Islam. Tentang hal ini Allah swt. telah
mengingatkan kita melalui firman-Nya, “Apakah manusia mengira mereka
dibiarkan saja mengatakan telah beriman, tanpa diuji lagi? Sesungguhnya
kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sesungguhnya Allah
mengetahui umat yang benar-benar beriman, dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3)
Kesebelas
Apa yang telah diperlihatkan oleh orang-orang kafir terhadap
korban-korban kaum Muslimin dalam Perang Uhud, khususnya terhadap mayat
Hamzah, paman Nabi, merupakan bukti nyata sangat tipisnya
perikemanusiaan dan kasih sayang musuh-musuh Islam terhadap sesama
manusia. Perbuatan mereka mengoyak-ngoyak tubuh mayat bukanlah ingin
menyakiti lagi sang mayat, melainkan untuk menunjukkan betapa
mendalamnya kedengkian yang ada di dalam dini mereka. Hal itü sangat
menyedihkan orang yang melihatnya.
Apa yang telah diperbuat oleh kaum Musyrikin dahulu itu juga
dilakukan oleh orang-orang Yahudi kepada korban-korban perang di
Palestina. Memang kedua kelompok pelaku perbuatan biadab ini sama-sama
tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Hal itu membuat mereka selalu
tidak senang kepada orang-orang yang bersikap sebaliknya.
Kedua belas
Diterimanya nasihat dan pertimbangan para sahabat oleh Nabi saw.
dalam rangka penempatan pasukan pada Perang Badar dan Khaibar adalah
isyarat tidak sukanya Nabi akan cara-cara diktator. Biasanya orang-orang
diktator selalu menganggap dinmnya lebih baik, lebih pmntar dan lebih
hebat dan orang lain, sehingga ia memandang rendah dan meremehkan
aspirasi rakyat, serta enggan bermusyawarah dengan tokoh-tokohnya.
Sesungguhnya Nabi berkedudukan sebagai Rasulullah, namun beliau tidak
menemehkan pendapat sahabat-sahabatnya, terutama menyangkut
masalah-masalah kemiliteran dan situasi medan yang sedang dihadapi. Nabi
Saw. suka bermusyawarah tentang segala pensoalan, kecuali jika wahyu
Allah telah menentukannya. Sejanah telah menunjukkan, kecongkakan
pemimpin-pemimpin yang diktator sering sekali membahayakan mereka
sendini dan rakyatnya. Mengingat hal mi, selayaknya para da’i meneladani
sikap dan tindakan Rasulullah, jika dia memang sebagai pemimpin yang
ikhlas dan da’i yang jujun. Bukankah musyawarah merupakan simbol utama
dalam pemerintahan Islam? Bukankah sejarah telah mencatat dengan tinta
emas, pemimpinpenumpin Islam yang sesungguhnya adalah orangorang yang
suka musyawanah dan mempenhatikan pendapat para ahlinya, bukan diktator?
Untuk mi penhatikanlah firman Allah dalam surat As-Syura ayat 38, All Imnan ayat 159 dan AnNahi ayat 43.
Ketiga belas
Dalam kepemimpinan Rasulullah Saw. beliau selalu berada di barisan
terdepan, kecuali jika pana sahabat minta supaya beliau memberi komando
dan belakang, hal mi menunjukkan kepemimpinan itu tidak mungkin
dijalankan oleh orang-orang yang pengecut. Sejak dahulu sampai sekarang,
bahkan nanti, orang-orang yang pengecut tidak bisa dan tidak pantas
dijadikan pemimpin masyarakat, komandan pasukan, penggerak gerakan
perbaikan (refonmasi) dan pemimpin da’wah. Kebaikan seorang pemimpin
atau da’i dalam berfikir dan berbuat jauh lebih mampu membangkitkan
semangat pengikutpengikut jika dibandingkan dengan daya bangkit
pidato-pidato di depan umum. Dan memang keberanian seorang pemimpin atau
da’i mi akan dijadikan contoh dan stimulator oleh anak buahnya. Selain
itu sifat pengecut selalu merupakan hambatan dan dalam (intern),
sehingga ia menjadi hambatan awal.
Keempat belas
Anak buah atau pembela-pembela dakwah seyogyanya tidak menentang
keputusan sang pemimpin yang cerdas dan cermat mempertimbangkan suatu
perkara, lagi pula mempunyai tanggung jawab penuh atas kesuksesan
dakwahnya. Sifat-sifat tersebut menjadikan keputusan sang dai itu layak
dituruti, apalagi jika sebelum mengambil keputusan tertentu itu dia
telah meminta pendapat anak buahnya terlebih dahulu.
Ambillah contoh keputusan yang diambil oleh Nabi saw. pada Perang
Hudaibiyah. Beliau terlebih dahulu memikirkan masak-masak syarat-syarat
yang sepatutnya dicantumkan dalam penjanjian itu dan telah memahami
benar apa yang akan menguntungkan dakwah. Dalam pandangan beliau, adanya
perdamaian itu sendiri sudah merupakan kemenangan dan keuntungan
politis. Ternyata setelah disepakatinya perdamaian tersebut, dalam
jangka waktu dua tahun, berlipatgandalah orang-orang yang masuk Islam.
Begitulah keputusan yang diambilnya secara tepat, walaupun beberapa
orang sahabatnya merasa keberatan terhadap beberapa point persyaratan
perjanjian itu semula, hal mana melahirkan tingkah laku yang kurang
pantas terhadap Rasulullah yang pada kala itu juga berstatus sebagai
komandan pasukan.
Kasus semacam itu pernah pula terjadi pada diri Abu Bakar. Walaupun
sahabat-sahabat lainnya tidak setuju untuk memerangi kaum yang murtad,
namun ia pada akhirnya tetap berpendirian, memerangi mereka. Melihat
sikap dan pertimbangan Abu Bakar yang telah melakukan perhitungan
matangmatang itu, surutlah sahabat-sahabatnya dari pendapat semula.
Apalagi setelah mereka mengerti, memerangi kaum Murtad merupakan
langkah-langkah yang tepat untuk menjaga kelestarian Islam di anak benua
Arabia, di satu sisi, dan memulihkan kembali semangat umat Islam untuk
menyebarkan ajaran agama Islam di setiap penjuru dunia ini, di lain
sisi.
Kelima belas
Kepada Urwah bin Mas’ud yang datang dan menyatakan masuk Islam
sewaktu Perang Ahzab sedang berkecamuk, Rasulullah memerintahkannya
melakukan upaya memecah belah barisan lawan. Tindakan Nabi ini
menunjukkan boleh melakukan tipu muslihat yang dapat menghasilkan
kemenangan serta mengalahkan musuh, dan dibenarkannya mengambil
langkah-langkah yang akan membawa kemenangan dan menutupi kemungkinan
pertumpahan darah lebih lanjut. Di sini kita dapat melihat bagaimana
kelihaian Nabi saw. di bidang politik dan kemiliteran. Tindakan semacam
itu tidak berarti melangkahi akhlak yang diajarkan Islam, sebab upaya
memperkecil korban perang adalah suatu hal yang manusiawi.
Kepentingan untuk menghancurkan kejahatan, kekufuran, dan keonaran
adalah kepentingan yang manusiawi dan etis. Penggunaan tipu muslihat
dalam rangka memerangi pendukung-pendukungnya adalah sesuai dengan
akhlak kemanusiaan yang memandang peperangan itu sendiri sebagai suatu
yang mengandung banyak keburukan. Bila keburukan-keburukan itu
merajalela, maka haruslah menghapuskannya dengan berbagai cara yang
sesuai dengan keadaan keburukan itu sendiri. Allah swt. tidak akan
mengizinkan perang, kalau tidak demi terpeliharanya agama, umat, dan
negeri. Dalam hubungan ini menipu musuh-musuh agama hingga mereka
berantakan dapatlah dinilai mempercepat proses penegakan kebenaran.
Inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah dalam kata-katanya kepada Urwah
bin Mas’ud: “Perang adalah tipu daya.”
Keenam belas
Diterimanya gagasan Salman dalam Perang Ahzab untuk menggali
parit-parit pertahanan adalah mengindikasikan Islam sama sekali tidak
enggan memanfaatkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki orang non Islam,
sepanjang hal itu berguna bagi umat Islam sendiri dan masyanakat pada
umumnya. Taktik mempertahankan kota, yang diusulkan Salman itu, ternyata
ampuh untuk membendung serbuan musuh yang berkekuatan tinggi. Begitulah
keterbukaan jiwa Nabi untuk menerima pendapat yang baik dan benar, dan
hal seperti ini tidak hanya terjadi sekali selama hidupnya.
Beliau pernah menerima saran sahabatnya agar menuliskan namanya dalam
surat yang akan dikirimkan kepada raja-raja, setelah mendapat
penjelasan, raja-raja itu biasanya tidak mau menerima surat yang di
dalamnya tidak tercantum nama pengirimnya. Karena itu beliau
memerintahkan salah seorang untuk membuat stempel yang bertuliskan nama
dan status beliau (Muhammad Rasulullah). Begitu pula saran agar Nabi
memakai pakaian yang bagus dalam menerima kedatangan rombongan
pembesar-pembesar dan berbagai penjuru untuk menyatakan masuk Islam
setelah penaklukan kota Makkah. Para sahabat menyatakan kepada beliau,
para pembesar yang akan datang menghadap Nabi adalah orang-orang yang
sudah biasa disambut dengan pakaian yang bagus atau pakaian kebesaran.
Karena itulah Rasulullah menyuruh sahabatnya membeli pakalan baru yang
cukup mahal harganya.
Itu semua menunjukkan bagaimana Rasul akhir zaman ini mencontohkan
tingkah laku teladan yang disesuaikan dengan pendapat atau cara
orang-orang lain. Oleh karena itu adalah keharusan bagi kita sebagai
pengikutnya untuk meniru hal-hal yang paling balk, yang ada di kalangan
masyarakat lain, sejauh itu bermanfaat dan tidak bertentangan dengan
hukum Islam serta dengan prinsip-prinsip dasarnya. Kita tidak boleh
jumud, karena itu tidak selaras dengan watak Islam yang justru
menganjurkan penganutnya untuk menyimak dan menyeleksi perkataan,
pendapat, dan tradisi-tradisi yang ada untuk kemudian menerima atau
mengambil yang terbaik di antaranya. “Sampaikanlah berita-benita ini
kepada hamba-hambaKu. Yang mendengar keterangan, lalu mengikuti yang
terbaik di antananya.” (QS. Az-Zumar: 17-18)
Apa yang telah dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah itu
seringkali dilupakan umat Islam sekarang, padahal itu merupakan suatu
prinsip yang tidak kecil artinya. Kaum Muslimin dewasa ini sering enggan
mencontoh perbaikan-perbaikan yang telah berhasil dicapai oleh
bangsa-bangsa di luar Islam, padahal mereka sendiri sangat
membutuhkannya. Mereka kerap kali menutup mata dari perbaikan-perbaikan
itu, apalagi jika yang ditiru itu berasal dan kebangkitan Eropa.
Akibatnya kaum Muslimin kalah dan mundur, di bawah kemenangan dan
kemajuan umat-umat lain.
Ketujuh belas
Wasiat-wasiat Rasulullah kepada pasukan yang akan diberangkatkan ke
Perang Mu’tah memperlihatkan secara jelas watak penuh kasih sayang dalam
ajaran perang menurut Islam. Rasulullah tidak memperkenankan pasukannya
memerangi orang yang tidak memerangi atau melawan, tidak membenarkan
cara-cara “main sikat” dan “hantam kromo” kecuali jika amat terpaksa.
Hal ini ternyata membudaya di kalangan umat Islam di setiap masa,
sehingga mereka dikenal sebagai tentara-tentara yang sangat luhur
akhlaknya, cinta persudaraan dan perdamaian. Ajaran perangnya merupakan
doktrin yang paling berbelas kasih sepanjang sejarah umat manusia.
Sejarah mencatat etika perang kaum Muslimin ini dengan tinta emas di
atas kertas putih, sementara umat lain dicatat dengan tinta merah di
atas kertas hitam.
Masihkah ada orang yang tidak kenal kebiadaban tentara-tentara Salib
(Kristen) dan pemimpin-pemimpin sewaktu mereka menaklukkan masyarakat
dan negeri-negeri Islam zaman dahulu, seperti Tarablis, Ma’ra, dan
lain-lain?
Kita telah menyaksikan kemunafikan bangsa-bangsa Eropa di Barat dan
kebiadaban orang-orang Yahudi di Timur. Bangsa-bangsa eropa itu telah
mengelabui manusia dengan propaganda-propaganda kosong. Begitu
lantangnya mereka mencanangkan kebudayaan yang berprikemanusiaan, cinta
kasih, dan cinta kebaikan, tetapi mereka jugalah yang menyerbu
negeri-negeri lain dan menumpahkan darah orang-orang yang tidak melawan
dan tidak memeranginya.
Begitu pula orang-orang Yahudi. Seluruh dunia ini sudah tahu
bagaimana mereka telah berbuat sangat biadab terhadap lawan-lawannya di
Palestina, baik yang tinggal di desa-desa maupun di kota-kota.
Sungguhpun begitu, masih juga mereka mengatakan dan menganggap dirinya
sebagai bangsa yang menjunjung tinggi perikemanusiaan. Mereka masih juga
mengajak bangsa-bangsa lain untuk berperikemanusaian.
Sementara umat Islam selalu berbuat untuk perikemanusiaan, tanpa
banyak gembar-gembor seperti bangsa-bangsa tersebut. Sikap kaum Muslimin
itu dimungkinkan karena dalam dirinya terpendam prinsip-prinsip moral,
baik dalam situasi damai maupun dalam situasi perang. Bangsa-bangsa yang
munafik itu tidaklah memiliki kekuatan, kecuali dalam kemunafikan itu
sendiri. Sedangkan kekuatan Islam terletak dalam sifat kasih sayangnya
yang ditegakkan di atas keimanan kepada Allah swt. dan Hari Akhirat.
Inilah sebabnya perang dalam Islam bertujuan kemanusiaan, sedangkan
dalam ajaran lain, perang bertujuan penaklukan, pemerasan, dan
penjajahan. Oleh karena itu agaknya merekalah yang merupakan penentang
dan musuh kemanusiaan.
Sekarang kita sebagai kaum Muslimin sedang terlibat dalam peperangan
melawan orang-orang munafik itu, demi membela tanah air, hak dan
kehormatan Islam. Walaupun lawan yang dihadapi itu adalah orang-orang
yang anti perikemanusiaan, namun tidak selayaknya kita bergeser dan
prinsip yang dimiliki dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sebab jika
kita ikut-ikutan seperti mereka itu, berarti kita menderita dua
kerugian. Rugi karena lari dari pninsip semula dan rugi karena masih
harus melawan musuh-musuh tersebut.
Kedelapan belas
Suatu pasukan yang tidak kompak tentu tidak dapat mengungguli musuh,
sebagaimana terjadi dalam Perang Hunain. Begitu juga dalam dakwah,
kesuksesannya tidak tergangung kepada pidato-pidato yang menggebu-gebu,
melainkan kepada banyak sedikitnya orang yang bersedia berjibaku untuk
itu.
Kesembilan belas
Ada pelajaran tertentu yang harus diserap dari peperangan dan
pertentangan antana Nabi saw. dengan kaum Yahudi, yaitu yang menyangkut
sikap beliau terhadap mereka dan sikap mereka terhadap Nabi dan
ajaran-ajarannya.
Sejak hijrah di Madinah, Rasulullah saw. secara bersungguh-sungguh
telah membangun hubungan damai dengan kaum Yahudi. Beliau sangat
berkepentingan untuk membiarkan bebas (mendeka) beragama dan menjamin
keamanan harta bendanya. Maksud-maksud baik itu tertuang dalam piagam
perdamaian yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Akan tetapi tidak berapa lama kaum Yahudi itu mulai mengadakan aksi
percobaan pembunuhan atas diri Nabi saw., hal itu telah menyebabkan
terjadinya perang terhadap Bani Quraizah.
Kemudian mereka menyatakan tidak mau terikat lagi kepada perjanjian
damai, persis pada saat Perang Ahzab, hal mana telah menyebabkan
pecahnya perang Bani Quraizah. Tidak hanya berhenti di situ, mereka
mempersiapkan diri untuk memerangi kaum Muslimin di Madinah.
Dirangkulnya kabilah-kabilah yang memusuhi Islam dan disebarkannya
propaganda anti Islam. Tindakan inilah yang menyebabkan meletusnya
Perang Khaibar.
Tampaknya kaum Yahudi ini tidak menghargai kebaikan, tidak bisa
dipercaya, dan selalu ingin membuat keonaran. Bagaimanakah sikap Nabi
saw. dan kaum Muslimin terhadap mereka ini, yang notabene ingin
menyudutkan dan menyulitkan umat Islam? Pertanyaan ini perlu ditelusuri
jawabannya. Kebaikan pergaulan Nabi serta kaum Muslimin dengan umat
Yahudi itu tidak menjadi halangan untuk membangun dan mempertahankan
negara yang masih berusia muda (negana Islam) dan bagi penyiaran agama
Islam ke seluruh anak benua Arab, bahkan ke seluruh penjuru dunia pada
umumnya. Akan tetapi dibalik itu semua, ternyata hanya orang-orang
Yahudi atau kelompok-kelompok ekstrimis atau imperialis sajalah yang
justru tidak senang kepada Nabi dan kaum Muslimin, walaupun telah
berbaik-baik kepada mereka. Oleh karena itu barangkali tidak keliru jika
dikatakan, sejarah kaum Yahudi ini tersusun dari kejahatan demi
kejahatan, pengkhianatan demi pengkhianatan, dan keonaran demi keonaran,
sejak dahulu hingga sekarang.
Sebelum pecahnya perang Palestina dan sebelum orang-orang Yahudi
menduduki negeri itu, terdengarlah ajakan sementara orang yang dengan
mulut manis mengajak bekerja sama dengan kaum Yahudi. Berbagai upaya
telah pula dilakukannya untuk memisahkan kaum Yahudi ini dari pengaruh
negara-negara superpower. Akan tetapi setelah terjadi peperangan dan
pendudukan oleh Israel, lenyaplah semua rayuan gombal tersebut. Belajar
dari pengalaman itu agaknya tidak ada jalan lain bagi kaum Muslimin
dalam menghadapi orang-orang Yahudi, kecuali kembali menempuh cara-cara
sebagaimana yang ditempuh oleh Rasulullah dahulu, guna mewujudkan
stabilitas yang memungkinkan kita memainkan peranan baru dalam rangka
mengemban misi Islam dan menciptakan perdamaian semesta. Barangkali
inilah amanat yang harus diwariskan kepada generasi berikut, dengan
harapan semoga mereka mampu melakukan hal-hal yang belum lagi dilakukan
oleh generasi yang lalu.
Kedua puluh
Perang Mu’tah yang merupakan konflik pertama antara kaum Muslimin
dengan kekaisaran Romawi, tidak akan terjadi kalau saja tidak terjadi
peristiwa pembunuhan atas seorang utusan Rasulullah saw. yang ditugaskan
menemui Gubernur Bashra yang memerintah atas nama Kerajaan Romawi.
Tindakan pembunuhan dimaksud merupakan tindakan permusuhan dan tidak
mau bertetangga baik, dilihat dari segi perundang-undangan
internasional, serta menunjukkan i’tikad buruk para Gubernur Romawi yang
berada di wilayah Arab. Sasaran Nabi saw. dengan pengiriman pasukan ke
Mu’tah, tidak lain kecuali untuk memperingatkan penguasa-penguasa Romawi
itu agar tidak mengambil sikap bermusuhan dengan negara Islam Madinah.
Akantetapi dipersiapkannya tidak kurang dari 200.000 orang tentara
oleh pihak Romawi, yang terdiri dan bangsa Romawi dan orang-orang Arab
Nasrani. Meneka telah memusatkan komandonya di Kota Maab, dekat Omman
(sekarang), adalah tidak lain kecuali untuk menunjukkan adanya keinginan
mereka menghapus negara Islam Madinah dari peta dunia. Rupanya mereka
tidak senang dengan berdirinya suatu negara berdaulat yang merdeka dan
menguasai benua Arab. Sebab jika negara baru itu sempat besar, tentulah
akan menjadi penghalang yang dapat memutus dan mengakhiri penjajahan
Romawi di negeri-negeni Arab.
Dengan demikian beralasan jika Nabi saw. mengerahkan pasukannya untuk melawan pasukan Romawi, sehingga Perang Mu’tah terjadi.
Kedua puluh satu
Dalam rangka Perang Tabuk, terlihat bukti-bukti nyata betapa besarnya
dorongan iman yang sungguh-sungguh dalam kalbu sahabat-sahabat Nabi,
sehingga mereka senantiasa bersemangat untuk berkorban demi kepentingan
agama dan masyarakat Islam. Karena dorongan iman itulah mereka bersedia
mengorbankan harta kekayaan yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka sanggup
menghadapi peperangan besar dalam keadaaan paceklik dan cuaca yang
sangat panas. Hal semacam itu tidak akan disanggupi, kecuali orang-orang
yang benar-benar tulus ikhlas demi Allah dan demi keridhaan-Nya.
Kedua puluh dua
Betapa banyak pelajaran yang seharusnya kita petik dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam peperangan Nabi saw. menaklukkan
kota Makkah, sehingga tidak mungkin uraikan satu per satu di ini. Yang
terpenting di antaranya ialah mengenai sifat-sifat Rasul yang sedikitpun
tidak menaruh benci kepada orang-orang yang justru memusuhinya
bertahun-tahun lamanya, tidak kurang dari 21 tahun. Selama masa itu kaum
Musyrikin Makkah tidak henti-hentinya berdaya upaya untuk membunuh
Rasulullah, sahabat-sahabatnya, dan merintangi dakwah Islamiyah.
Setelah pusat keberhalaan (kota Makkah) ditaklukkan, beliau memaafkan
dosa-dosa mereka. Membebaskannya dari segala bentuk balas dendam dan
mengajak mereka ke jalan Allah. Di sini nyata benar bagaimana besarnya
jiwa beliau, sebagai seorang dai yang tiada mengharapkan kekuasaan dan
pangkat. Memang Allah mengutusnya kepada seluruh manusia bukan untuk
itu, melainkan untuk menjadi pemberi petunjuk dan pembuka akal pikiran.
Kedua puluh tiga
Perilaku Rasulullah saw. terhadap penduduk kota Makkah menunjukkan
beliau paham persis peran yang akan dimainkan mereka di kemudian hari,
yakni sebagai pembawa misi Islam ke seluruh dunia. Tidak ada pembunuhan
dan balas dendam, melainkan sebaliknya tokoh-tokoh Musyrikin itu masuk
ke dalam agama Islam untuk selanjutnya disebarluaskan kepada semua
lapisan masyarakat. Tindakan Nabi saw. terhadap penduduk Kota Makkah
tersebut adalah juga menunjukkan kepercayaan kepada mereka untuk menjadi
pahlawan.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar